Rabu, 01 April 2009

CITRA PROPESI GURU JADI PUDAR

Sejauh ini, pendidikan masih diyakini merupakan kunci pengembangan kualitas sumber daya manusia. Namun, masih banyak ditemukan persoalan dalam dunia pendidikan, mulai dari masalah pemerataan, kebijakan yang belum mampu menjawab tantangan dan kebutuhan, sampai soal mutu yang rendah.
Dalam mengurai dan mencari pemecahan masalah itu, guru acap dituding sebagai biang kerok. Kualitas guru yang rendah dan guru yang tidak profesional kerap dikaitkan dengan keterpurukan pendidikan.
Di banyak negara, sosok guru merupakan sosok invisible yang dianggap diperlukan tetapi selalu tersisih, tak terperhatikan, dan tersembunyi di balik tembok sekolah. Juga di Indonesia, guru adalah sosok "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa", karena sebagai sebuah profesi, jasa guru tidak mendapatkan penghargaan selayaknya. Itulah sekilas gambaran sosok guru saat ini.
Citra guru demikian akan terasa kontradiktif jika dibanding citra guru pada masa prakemerdekaan atau awal kemerdekaan. Pada masa itu, guru dipandang dan diperlakukan bukan hanya sebagai pendidik yang pantas digugu lan ditiru, tetapi juga pemimpin masyarakat yang dihormati dan disegani. Status ekonominya relatif tinggi.
Hal itu tidak terlepas dari imbal jasa yang memadai dan kredibilitas profesional guru di mata masyarakat yang tinggi.
Secara politis guru juga dibutuhkan oleh pemerintah, baik pada masa penjajahan maupun awal kemerdekaan. Demikian pula pada masa itu masih sedikit orang yang berprofesi sebagai guru, sementara profesi-profesi lain belum banyak berkembang.


MEMUDARNYA citra profesi guru saat ini, tidak lepas dari pengaruh beberapa variabel yang saling mengait satu dengan lainnya. Dewasa ini penghargaan terhadap guru, secara struktural oleh pemerintah maupun masyarakat, masih rendah. Terjadi ambiguitas dari masyarakat dan pemerintah.

Di satu sisi mengakui peran penting pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia, di sisi lain penghargaan terhadap profesi guru tidak sepadan dengan tugas dan tanggung jawabnya. Gaji guru, meski sudah ada usaha dari pemerintah untuk menaikkannya, tetap saja tergolong rendah.
Dibanding negara maju-di AS imbal jasa guru rata-rata 1,7 kali pendapatan per kapita negara itu, Jepang rata-rata 2,4 kali pendapatan per kapita-imbal jasa guru di Indonesia jauh dari memadai. Bahkan, untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan, guru sering tidak mampu.
Rendahnya kualitas dan kompetensi guru juga menjadi penyebab merosotnya citra profesi guru. Status okupasional guru yang relatif rendah membuat profesi guru tidak lagi menjadi pilihan utama, sehingga banyak generasi muda yang tidak berminat menjadikan guru sebagai pilihan profesinya.
Input yang dimiliki tenaga kependidikan relatif rendah tingkat intelektualnya dibanding input nonkependidikan.
Anak yang prestasi akademiknya baik, hampir tidak ada yang mau menjadi guru. Akibatnya output yang dihasilkan juga rendah kualitasnya.
Di sisi lain kompetensi guru, baik kompetensi personal, sosial, maupun profesional masih belum memadai. Ini dapat dilihat dari kurangnya kematangan emosional dan kemandirian berpikir, lemahnya motivasi dan dedikasi, serta lemahnya penguasaan bahan ajar dan cara pengajaran yang kurang efektif.
Sistem pendidikan guru yang kurang sistematis dan semrawut yang ditunjukkan dengan kurang terkoordinasinya pengadaan, pemanfaatan, dan pembinaaan profesi guru, secara tidak langsung ikut berperan menurunkan citra profesi guru.
Pengadaan guru secara massal yang kurang mempertimbangkan standar kualitas, tidak berimbangnya antara jumlah guru yang dihasilkan dengan kebutuhan di lapangan, serta minimnya pembinaan sebagai upaya peningkatan profesionalisme guru, mengakibatkan profesi guru tidak dipandang sebagai profesi yang istimewa.
Profesi ini dianggap tidak menuntut keahlian yang khas, sehingga kurang memiliki "nilai jual". Profesi guru dianggap sebagai profesi yang mudah dan murah. Kesannya setiap orang bisa menjadi guru, asalkan mau.
Pudarnya citra profesi guru juga disebabkan kurang efektifnya organisasi profesi guru dalam melindungi dan mengembangkan profesionalisme guru.
Organisasi profesi guru, seperti PGRI dan ISPI, kurang berdaya dalam mengembangkan ilmu pendidikan seperti yang dituntut masyarakat.
Selain itu dalam melindungi hak-hak anggotanya organisasi itu kurang berperan secara optimal. Tidak banyak advokasi yang dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak para guru. Guru pun sering menjadi pihak yang termajinalkan ketika berhadapan dengan pemerintah atau yayasan bagi guru swasta.
UNTUK mengembalikan citra profesi guru yang kini merosot bukan perkara mudah. Dibutuhkan komitmen dan konsistensi dari banyak pihak; guru sendiri, organisasi guru, pemerintah, dan masyarakat. Usaha peningkatan kesejahteraan guru dengan kenaikan gaji harus terus didesakkan.
Bagaimanapun persoalan ekonomi yang dihadapi guru amat mempengaruhi kinerja dan profesionalitas guru.
Dalam beberapa waktu terakhir, pemerintah telah mengupayakan peningkatan kesejahteraan guru, seperti kenaikan tunjangan guru sebesar 50 persen per Oktober 2002.
Namun, banyak yayasan swasta yang tidak mampu memberikan tunjangan seperti yang sudah ditetapkan. Juga masih banyak guru negeri dalam kenyataannya tidak menerima tunjangan seperti yang ditetapkan itu.
Setiap profesi menuntut adanya suatu standar kompetensi, standar moral, dan tanggung jawab tertentu yang harus dijaga demi citra dan kredibilitas profesi itu.
Seiring perkembangan zaman, peran guru mengalami perubahan, dari pembentukan wawasan serta pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan pada abad industri, menjadi fasilitator pembelajaran yang merupakan tuntutan abad informasi.
Perubahan ini tidak berarti tugas dan tanggung jawab guru menjadi lebih ringan. Karena guru tetap memiliki tanggung jawab dalam pembentukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap-nilai dari proses pembelajaran yang berlangsung, serta bertanggung jawab untuk berpartisipasi secara nyata dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan secara utuh.
Hal ini menuntut peningkatan kualitas dan kompetensi dari para guru, dengan terus-menerus memperbarui diri, mengup-grade dirinya sesuai tuntutan zaman.
Juga untuk memperbaiki kualitas output-nya, lembaga pendidikan guru harus membenahi strukturnya, dengan membuat terobosan-terobosan baru yang secara tidak langsung akan membantu meningkatkan citra profesi guru.
Rendahnya status guru tidak semata-mata ditentukan lembaga pendidikan guru, tetapi lembaga pendidikan guru yang bermutu tinggi akan menjadi salah satu mata rantai yang menentukan dalam upaya peningkatan citra profesi guru secara keseluruhan.
Usaha terus-menerus dari para guru untuk meningkatkan kualitas, kompetensi, dan profesionalitasnya, dan dengan political will pemerintah untuk menghargai profesi guru, menata dan mengelola lembaga pendidikan guru agar dapat menjaring calon guru bermutu dan menghasilkan output yang berkualitas, serta berfungsinya organisasi profesi guru secara efektif dalam melindungi dan memberdayakan guru, bersama-sama akan dapat mengangkat kembali citra profesi guru.

1 komentar:

peace and love mengatakan...

wilujeng sumping.....bergabung jadi tenaga pendidik yeuh kayanya moal tebih ti siswa lah tp yg pasti jurnal yang bagus mudah-mudahan pemerintah bisa lebih memperhatikan nasib guru terlebih lagi guru honorer... betul!

Posting Komentar

cv3rut © 2008 Por *Templates para Você*